Rabu, 25 Februari 2015

Cerpen; Undangan - Karya: Srea

Langkah senada dan senyum menawan terpancar dari sang kurir pengirim undangan. Aku beranjak dari zona nyaman tempatku bersandar menikmati udara pagi dan uap kopi.
“Terima kasih, Pak” ucapku pada bapak kurir.
“Sama-sama, Neng. Mari.”
Kami pun saling melemparkan senyuman. Bukan tanda sayang, tapi tanda bahwa kita adalah manusia berlabel makhluk sosial.
Tanpa menunggu lama karena penasaran, aku membuka secarik kertas undangan pernikahan yang kini berada di genggaman.
Undangan ditujukan untukku, ah, pasti ini dari temanku, bukan teman orangtuaku. Semakin semangat pula aku membukanya. Dan saking semangatnya, aku tak membaca embel-embel kalimat pembukaan undangan itu. Tentu saja, mataku mencari cetak tulisan nama pasangan yang akan segera menjemput bahtera rumah tangga itu.
Hanya butuh beberapa detik saja, mataku sudah mendapatkan apa yang dimau, tapi tentu saja tidak dengan hati dan pikiranku, mereka teramat menolak dan menyesal sudah tahu.
Andai saja aku tahu nama pasangan sedari aku menerima undangan itu, mungkin tak perlu aku lelah membuka, cukup menyimpannya dalam ruang khusus; tong sampah!
Nugraha, pujangga hatiku. Sudah memutuskan untuk mengikat hati yang lain. Yang tiada lain-tiada bukan; bersama Lulu, teman sebangku dulu di SMP.
Diam! Ini bukan saatnya mulut bicara.
Ini saatnya sapu tangan menyusut deraian air di pipi, yang dulu, Nugraha bilang; “Merah pipimu merona, cukup mengalihkan duniaku!” Ah, taik! 

Di akhir malam yang sendu
Bandung, 19 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar