Rabu, 25 Februari 2015

Cerpen; Tikus Percobaan - Karya: Srea

Ah! Sudah hari Selasa lagi. Kerajaan tikus putih dan manis itu kembali diselimuti kegelisahan. Manusia semester lima sudah menjelma menjadi pembunuh. Mereka, para tikus itu mulai resah, gundah, terutama tikus putih berukuran kurang lebih 20 gram beratnya yang akan menjadi target percobaan minggu ini; pengujian Antidiare.
Perlengkapan sudah disiapkan. Para manusia ber-jas putih itu masuk ke ruangan laboratorium farmakologi dengan menunjukan mimik muka biasa aja. Tapi jelas saja tidak dengan mimik muka kami para tikus putih yang dipanggil ‘mencit’ karena berukuran kecil. Mengapa kami dipanggil mencit? Panggilan yang dalam bahasa Sunda (bahasa manusia) itu artinya ‘bunuh/potong’, aaarrhhh tidaaak! Apa kami ditakdirkan untuk dibunuh? Dipotong? Dicabik tubuhnya? Dimusnahkan? Sungguh mengenaskan!
Suasana hening sekejap, ada manusia berpostur lebih besar dari yang lainnya serta berkostum berbeda dari yang lainnya, yang mereka sebut-sebut sebagai asdos (asisten dosen). Terhitung setelah asdos itu memberi responsi praktikum, kemudian sangkar kami mulai dibuka, saat itu perasaan kami bergejolak menolak hari itu terlalui. Rasanya, jika boleh bilang pada para praktikan itu begini: “Kami senang bertemu kalian yang cantik-cantik dan tampan-tampan serta tampak gagah dan elegan dengan jas putih kalian. Tapi, jujur. Semuanya berubah menjadi seperti neraka, kalian menjelma menjelma menjadi pembunuh bersamaan dengan tugas praktikum kalian sudah usai.”
Kami dielus-elus, ada yang membawa kami ke pangkuan tangan lembut dengan senyum kemenangan tersungging di wajah para praktikan yang lebih layak disebut pembunuh itu. Tapi kami tak banyak berbuat, ketika tubuh kami memang tak mampu, hanya sesekali saja kami berontak menunjukan ketidaksukaan kami dipegang dan sedikit dicekik yang membuat beberapa praktikan manja menjerit-jerit karena ketakutan.   
Kami ditimbang, tepatnya seperti di ruang posyandu yang akan diberi vaksin polio dan disuntik imunisasi. Yeah! Ini memang untuk kesehatan kami! Manusia memang baik. Tetapi bayangan itu seketika pudar, setelah kami merasa obat uji antidiare yang disonde pada mulut kita membuat kami sebal, obat itu pahit, wueekk!
Satu jam berlalu, kami disonde kembali dengan Oleum Ricini sebagai induksi diare, dan itu membuat perut kami sakit, mual, merasa tak karuan seperti diperas, aaarrhhgg sakit, kami pun mengerang. Beberapa diantara kami ada yang masih terlihat baik-baik saja, oh, mungkin karena obat uji yang diberinya cukup bagus kualitasnya.
Setelah 90 menit kemudian, kami ditempatkan pada permukaan yang kasar, mungkin beralaskan kawat. Lalu, ekor kami dipegang, pada tengkuk kami ditekankan tongkat dengan satu tangan praktikan kejam itu, kemudian tangan lainnya menarik ekor kami dengan keras, sehingga leher kami terdislokasi dan kami pun dalam sekejap sudah berada di dunia lain. Ya, di dunia yang fana ini tinggal raga kami yang tak berdaya yang siap dikuliti bagian perut serta diambil bagian usus dengan sangat hati-hati agar tak putus, karena itulah usus kami yang berisi kotoran akan dijadikan data pengamatan dalam praktikum kali ini.
Praktikum usai. Nyawa kami pun hilang. Para praktikan pun meninggalkan ruangan laboratorium farmakologi dengan tenang, walau perilaku pembunuhan baru saja mereka lakukan. []

Secuil kisah dalam lembaran modul farmakologi
Bandung, 20 Februari 2015

Cerpen; Generasi Menyontek - Karya: Srea



Angkot jurusan Dago-Riung pun melaju dengan santainya ditengah jalanan Bandung yang ramai lancar. Sebagai salah satu penumpang cantik dari lima wanita lainnya, aku dan temanku, Asy, sedang asik membicarakan lika-liku perjalanan tugas akhir pertamanya, aku yang tak lama lagi menyusulnya untuk menyusun tugas akhir tentu sangat ingin mencuri kisahnya agar paling tidak aku mempunyai gambaran kelak; satu semester lagi, insyaAllah.
Terbentuk Negara didalam Negara, ternyata ada forum lain di dalam angkot, ketiga wanita yang usianya diperkirakan seumuran pun sedang asik membicarakan kisah mereka yang aku tak sengaja mendengarnya; mereka membicarkan ujian di kampusnya.
Angkot berhenti, padahal tidak ada yang bilang ‘kiri’. Kami sebagai penumpang tidak bingung, karena supir angkot memang begitu, mempersilakan masuk kepada penumpang lain yang pada saat itu menjelma sebagai seorang bapak tua yang suaranya lantang dan wajahnya segar.
“Pak, turun di terminal ya?” ujar bapak tua itu.
“Siap, Pak” jawab supir angkot.
Angkot melaju. Begitupun pembicaraan ‘dua kubu’ di dalam angkot itu.
“Untung saja pengawasnya baik, sengaja bawa novel biar gak ganggu kita lagi ujian. Hahaha.” Ungkap salah satu wanita di sebelah Asy. Dua teman yang lainnya menyahut dengan tawa kemenangan.
“Nah ini! Orang Indonesia itu sekarang bodoh-bodoh karena generasinya suka menyontek!” celetuk bapak tua yang sedari tadi mungkin mendengarkan cuplikan percakapan salah satu kubu itu. Tentu saja, percakapan mereka jelas dan keras. Aku dan Asy seperti pura-pura tak mendengar, kami tetap berbicara meskipun mata dan pikiran sudah mulai memperhatikan sekitar.
Ketiga wanita itu kaget. Tak sadar percakapan yang pantas disebut aib itu mereka bicarakan ditempat umum.
“Generasi dulu dengan sekarang itu beda. Orang jaman dulu itu cerdas dan pintar karena mereka selalu berfikir. Anak-anak jaman sekarang sudah terpengaruh oleh benda ini nih.” Lanjut bapak tua sembari menunjuk ke hape salah satu wanita itu.
Sudah terbaca mimik muka ketiga wanita itu sangat serba salah. Mereka seperti menyembunyikan tawa dan malu.
Pada saat aku turun dari angkot, meninggalkan pembicaraan panas layaknya petuah seorang bapak kepada anaknya, temanku, Asy bertanya: “Maksud bapak itu tadi apa ya? Kok muka anak-anak tadi langsung berubah?”
“Iya. Anak-anak tadi sedang membicarakan menyontek ujian. Bapak itu langsung menceramahi.” Jawabku.
“Oh ya.” Sahut Asy.
“Tapi benar juga kata bapak itu. Bapak itu bilang: “Orang Indonesia bodoh-bodoh karena suka menyontek.” Lanjutku.
“Waktu aku D3 di Malaysia, tidak pernah ujiannya open book. Jadi pas disini ujiannya ada yang open book, aku merasa aneh.”
“Menyontek yang diperbolehkan. Tapi membuat kita menjadi malas menghafal. Hahaha.”
“Ya, benar.” Jawabnya singkat.
Beberapa detik. Setelah berhasil menyebrang jalan. Setelah itu aku baru menyadari.
JLEB! Serasa ditampar. Serasa menjelekan diri. Serasa mempermalukan diri sendiri dan bangsa sendiri. Aku baru sadar temanku ini turis Malaysia. []

Di hari libur gara-gara imlek
Bandung, 19 Februari 2015

Cerpen; Undangan - Karya: Srea

Langkah senada dan senyum menawan terpancar dari sang kurir pengirim undangan. Aku beranjak dari zona nyaman tempatku bersandar menikmati udara pagi dan uap kopi.
“Terima kasih, Pak” ucapku pada bapak kurir.
“Sama-sama, Neng. Mari.”
Kami pun saling melemparkan senyuman. Bukan tanda sayang, tapi tanda bahwa kita adalah manusia berlabel makhluk sosial.
Tanpa menunggu lama karena penasaran, aku membuka secarik kertas undangan pernikahan yang kini berada di genggaman.
Undangan ditujukan untukku, ah, pasti ini dari temanku, bukan teman orangtuaku. Semakin semangat pula aku membukanya. Dan saking semangatnya, aku tak membaca embel-embel kalimat pembukaan undangan itu. Tentu saja, mataku mencari cetak tulisan nama pasangan yang akan segera menjemput bahtera rumah tangga itu.
Hanya butuh beberapa detik saja, mataku sudah mendapatkan apa yang dimau, tapi tentu saja tidak dengan hati dan pikiranku, mereka teramat menolak dan menyesal sudah tahu.
Andai saja aku tahu nama pasangan sedari aku menerima undangan itu, mungkin tak perlu aku lelah membuka, cukup menyimpannya dalam ruang khusus; tong sampah!
Nugraha, pujangga hatiku. Sudah memutuskan untuk mengikat hati yang lain. Yang tiada lain-tiada bukan; bersama Lulu, teman sebangku dulu di SMP.
Diam! Ini bukan saatnya mulut bicara.
Ini saatnya sapu tangan menyusut deraian air di pipi, yang dulu, Nugraha bilang; “Merah pipimu merona, cukup mengalihkan duniaku!” Ah, taik! 

Di akhir malam yang sendu
Bandung, 19 Februari 2015