Langkah senada dan senyum menawan terpancar dari
sang kurir pengirim undangan. Aku beranjak dari zona nyaman tempatku bersandar
menikmati udara pagi dan uap kopi.
“Terima kasih, Pak” ucapku pada bapak kurir.
“Sama-sama, Neng. Mari.”
Kami pun saling melemparkan senyuman. Bukan tanda
sayang, tapi tanda bahwa kita adalah manusia berlabel makhluk sosial.
Tanpa menunggu lama karena penasaran, aku membuka
secarik kertas undangan pernikahan yang kini berada di genggaman.
Undangan ditujukan untukku, ah, pasti ini dari
temanku, bukan teman orangtuaku. Semakin semangat pula aku membukanya. Dan
saking semangatnya, aku tak membaca embel-embel kalimat pembukaan undangan itu.
Tentu saja, mataku mencari cetak tulisan nama pasangan yang akan segera
menjemput bahtera rumah tangga itu.
Hanya butuh beberapa detik saja, mataku sudah
mendapatkan apa yang dimau, tapi tentu saja tidak dengan hati dan pikiranku,
mereka teramat menolak dan menyesal sudah tahu.
Andai saja aku tahu nama pasangan sedari aku menerima
undangan itu, mungkin tak perlu aku lelah membuka, cukup menyimpannya dalam
ruang khusus; tong sampah!
Nugraha, pujangga hatiku. Sudah memutuskan untuk mengikat
hati yang lain. Yang tiada lain-tiada bukan; bersama Lulu, teman sebangku dulu
di SMP.
Diam! Ini bukan saatnya mulut bicara.
Ini saatnya sapu tangan menyusut deraian air di
pipi, yang dulu, Nugraha bilang; “Merah pipimu merona, cukup mengalihkan
duniaku!” Ah, taik!
Di akhir malam
yang sendu
Bandung, 19
Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar